Teknologi ini dirintis oleh P.C Steptoe dan R.G Edwards pada tahun 1977.
Bayi Tabung. Alternatif Untuk Hamil
Memiliki anak dari hasil perkawinan merupakan dambaan setiap pasangan suami-istri. Namun jika sang anak tidak kunjung datang, segala upaya akan ditempuh, termasuk melalui program bayi tabung.
Hampir setiap pasangan suami-istri (pasutri) sadar, tidak mempunyai anak bukanlah akhir dunia. Namun, memiliki darah daging sendiri tetap menjadi tujuan yang dirasakan penting. Apalagi banyak di kalangan masyarakat yang masih menganggap keberadaan anak tidak saja sebagai keturunan semata, tetapi juga menjadi penerus nama keluarga dan segala adat budaya yang menjadi konsekuensinya.
Tidaklah heran jika banyak pasutri yang belum memiliki anak melakukan berbagai cara untuk mendapatkan momongan. Mereka tidak lelah untuk konsultasi kepada dokter kebidanan, mengkonsumsi obat penyubur, berkonsultasi ke sinse, dukun, sampai rajin makan makanan tertentu yang dianggap bisa membantu kehamilan. Namun setelah berbagai cara ditempuh, sang anak tidak juga kunjung datang. Padahal, semua konsultan mengatakan pasutri itu subur.
Menurut Prof Dr dr Sudraji Sumapraja SpOG (K), pelopor program bayi tabung di Indonesia, pasutri yang mengalami gangguan kesuburan pada tingkat dunia mencapai 10-15 persen. Dari jumlah itu, 90 persen diketahui penyebabnya. Dari jumlah tersebut, 40 persen di antaranya berasal dari faktor perempuan, 30 persen dari faktor pria, dan 30 persen sisanya berasal baik dari faktor pria maupun perempuan.
Sekarang, memiliki anak lewat program bayi tabung semakin banyak dipilih. Program ini membantu para istri maupun suami yang mempunyai masalah pada alat reproduksi atau juga karena sebab yang tidak jelas. "Saya memilih program ini karena menurut dokter, saya dan suami sehat, tidak ada masalah dengan kandungan atau kualitas sperma. Tetapi entah kenapa, hingga sembilan tahun perkawinan, saya tidak hamil juga," kata Gita (36 tahun), yang sedang mengikuti program bayi tabung untuk ketiga kalinya.
Jika Gita tidak mengetahui penyebab ketidakhamilannya, tak demikian dengan pasangan Anto (39) dan Sari Fariza (31). Setelah tiga tahun perkawinan tidak kunjung punya momongan, pasangan ini mulai berkonsultasi dengan dokter. Setiap kali konsultasi, dokter berkesimpulan tidak ada sperma yang ke luar dari alat reproduksi Anto.
Namun, Anto dan Sari tidak percaya begitu saja. Sampai lima tahun berikutnya, mereka selalu mencari tahu dan berusaha mencari jawaban kepada berbagai ahli, baik medis maupun alternatif. Apapun usaha yang bisa membuat Sari hamil. "Tetapi kesimpulan mereka sama. Sari tidak bisa hamil karena saya tidak bisa mengeluarkan sperma," kata Anto.
Sampai pada suatu saat, mereka bertemu dengan seorang dokter yang mengusulkan untuk mengikuti program bayi tabung. Mereka pun setuju mengikuti program ini walaupun sebenarnya mereka agak pesimistis. "Dokter sih optimistis karena menurut dia sebenarnya hormon saya normal dan bisa menghasilkan sperma. Dokter curiga ada penyumbatan di salah satu tempat yang membuat sperma saya tidak keluar. Jadi mengikuti program bayi tabung adalah satu-satunya cara agar saya punya anak," kata Anto yang memutuskan ikut program ini Agustus 2005 dan akhir Mei 2006 lalu berhasil mendapatkan dua anak kembar.
Ketika memutuskan mengikuti program bayi tabung, pasangan suami-istri sebaiknya sudah mempertimbangkannya dengan matang. Selain harus mengeluarkan biaya yang cukup besar-dari Rp 16,5 juta sampai Rp 54 juta, tergantung paket yang diambil pasutri yang mengikuti program ini, juga dituntut memiliki kedisiplinan dan motivasi yang kuat. "Kalau bukan karena motivasi yang kuat, saya rasa saat ini saya tidak bakalan memiliki ketiga anak yang lucu-lucu ini," kata Yenny Halim (40), ibu dari kembar tiga. Yenny mengikuti program bayi tabung pada tahun 2001.
Motivasi memang memegang peranan yang paling penting. Dengan motivasi, rasa sakit dan stres yang muncul selama mengikuti program ini menjadi seakan tidak cukup berarti.
Program yang lebih terfokus pada istri ini memang membawa konsekuensi berat pada istri. Setiap hari, sekitar lima sampai 14 hari (tergantung perkembangan tiap individu), istri harus disuntik pada waktu-waktu yang sama.
Jadi, setiap hari mereka para istri harus bolak-balik ke rumah sakit, dua kali setiap hari. Ini untuk pengambilan darah, pemeriksaan dengan ultrasonografi dan suntik hormon yang bertujuan memperbanyak jumlah sel telur yang matang. "Ketika suntik hormon selesai dan telur sudah siap dipanen, perut rasanya kembung sekali. Bayangkan saja, jika satu telur besarnya kira-kira 20 milimeter, sementara di perut ada 11 telur yang matang. Jadi, bisa dibayangkan perut rasanya besar banget," kata Gita.
Belum lagi rasa sakit ketika proses pengambilan sel telur dilakukan dan penanamannya kembali ke rahim setelah menjadi embrio. "Biarpun sudah dibius, tetapi saya masih ingat bagaimana rasa sakitnya saat itu!" ucap Yenny mengenang.
Yenny yang berhasil hamil, kemudian harus beristirahat total selama masa kehamilan. Ini karena tiga dari empat embrio yang ditanamkan kembali di rahimnya berkembang dengan baik. "Kehamilan saya dianggap berisiko tinggi karena mengandung tiga anak pada kehamilan pertama. Apalagi usia saya pada waktu itu 36 tahun, tidak muda lagi," kata Yenny.
Memacu sel telur
Prosedur bayi tabung dimulai dengan perangsangan indung telur istri dengan hormon. Ini untuk memacu perkembangan sejumlah folikel. Folikel adalah gelembung yang berisi sel telur. Perkembangan folikel dipantau secara teratur dengan alat ultrasonografi dan pengukuran kadar hormon estradional dalam darah.
Pengambilan sel telur dilakukan tanpa operasi, tetapi lewat pengisapan cairan folikel dengan tuntunan alat ultrasonografi transvaginal. Cairan folikel tersebut kemudian segera dibawa ke laboratorium. Seluruh sel telur yang diperoleh selanjutnya dieramkan dalam inkubator.
Beberapa jam kemudian, terhadap masing-masing sel telur akan ditambahkan sejumlah sperma suami (inseminasi) yang sebelumnya telah diolah dan dipilih yang terbaik mutunya.
Setelah kira-kira 18-20 jam, akan terlihat apakah proses pembuahan tersebut berhasil atau tidak. Sel telur yang telah dibuahi sperma atau disebut zigot akan dipantau selama 22-24 jam kemudian untuk melihat perkembangannya menjadi embrio.
"Dokter akan memilih empat embrio yang terbaik untuk ditanamkan kembali ke dalam rahim. Empat embrio merupakan jumlah yang maksimal karena apabila lebih dari empat, risiko yang ditanggung ibu dan janin akan sangat besar. Bahkan kehamilan tiga saja sudah bisa disebut sebagai kehamilan berisiko," kata Sudraji yang baru saja meluncurkan buku biografinya sebagai perintis bayi tabung di Indonesia.
Embrio-embrio yang terbaik itu kemudian diisap ke dalam sebuah kateter khusus untuk dipindahkan ke dalam rahim. Terjadinya kehamilan dapat diketahui melalui pemeriksaan air seni 14 hari setelah pemindahan embrio.
"Saat ini tingkat keberhasilan bayi tabung masih sekitar 25 persen. Angka ini berlaku di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Semakin muda umur istri, semakin besar peluang kehamilannya. Pada perempuan usia kurang dari 35 tahun, angka keberhasilan mencapai 30-33 persen. Sementara pada perempuan berusia lebih dari 40 tahun, maka peluang kehamilannya hanya delapan persen," tutur Sudraji.
Ditentukan Kualitas Sperma-Sel Telur
Program bayi tabung pada prinsipnya mempertemukan sperma dan ovum secara in vitro (di luar tubuh). Bayi tabung membantu terjadinya proses pembuahan yang secara alami tidak dapat terjadi pembuahan.
Menurut salah seorang konsultan IVF di Klinik Fertilitas Teratai dr Irsal Yan SpOG, pihak wanita akan dirangsang sel telurnya supaya memproduksi lebih dari satu. Tujuan dari mengikuti program ini agar sel telur yang diproduksi lebih banyak. "Sel telur dirangsang dengan obat-obat hormon sampai cukup matang seperti jumlah lebih banyak dan diameter lebih banyak," sebut dr Irsal.
Sementara proses pengambilan sperma diambil pada hari yang sama melalui masturbasi. Pada suami yang spermanya tidak keluar dengan cara biasa, dilakukan pengambilan sperma melalui testis, buah zakar atau saluran sperma sendiri.
"Diperlukan kualitas sperma dan sel telur yang bagus agar program bayi tabung berhasil," kata embriologist Dra Laksmi Wingit Ciptaning Msi.
Dia menuturkan, sel ovum dikatakan matang bila sudah mempunyai satu polar bodi. Adapun, sperma mempunyai kualitas yang bagus jika mempunyai bentuk normal dan gerakan yang maju lurus ke depan. Ketika telur sudah matang dan diambil melalui proses ovum pick up, maka sel telur siap untuk dipertemukan dengan sperma.
"Proses pembuahan bisa dilakukan dengan cara konvensional atau teknik ICSI (intra cytoplasmic sperm injection)," kata Laksmi. Cara konvensional dengan membuahi satu telur dengan 100 ribu sperma. Sedangkan, ICSI (intra cytoplasmic sperm injection) yaitu teknik reproduksi dengan cara menyuntikkan satu sperma hidup ke dalam satu sel telur.
Setelah terjadi pembuahan selama dua sampai tiga hari di luar, pilih yang paling baik, kemudian masukkan kembali ke dalam rahim istri. Kemudian dipilih dua atau tiga embrio (tergantung umur istri) untuk dimasukkan ke dalam rahim. Jika masih tersisa embrio yang berkualitas bagus akan disimpan. Proses ini dinamakan freezing.
Embrio ini bisa disimpan selama bertahun-tahun, ketika ingin hamil kembali pasangan tidak usah mengikuti program bayi tabung kembali. "Embrio yang telah disimpan tinggal dithawing (dicairkan) kembali," ujarnya.
Menurut konsultan ahli, dr H Taufik Jamaan SpOG, dua minggu setelah embrio dimasukkan dapat diketahui apakah terjadi kehamilan atau tidak. Selain itu, rahim juga diberi hormon penguat rahim untuk memperkuat dinding rahim supaya kehamilan terjadi. Jika wanita mengalami menstruasi, berarti gagal.
Bayi Tabung Tumbuh Lebih Pintar
Penelitian pertama terhadap anak-anak usia delapan tahun dari hasil pembuahan melalui metode intracytoplasmic sperm injection (ICSI), menunjukkan, bahwa mereka rata-rata memiliki tingkat intelegensi yang lebih baik daripada anak-anak hasil reproduksi normal. Hal tersebut menolak anggapan bahwa teknik tersebut tidak seaman metode in vitro vertilization (IVF) standar yang biasa dipakai untuk menghasilkan bayi tabung.
ICSI dilakukan dengan menyuntikkan sperma secara langsung ke dalam sel telur, berbeda dengan IVF standar yang hanya meletakkan sperma sedekat mungkin dengan sel telur, tanpa disuntikkan, agar dapat melakukan pembuahan secara alami.
Beberapa penelitian pendahuluan yang dilakukan sejak 1998 melaporkan bahwa anak-anak hasil ICSI usia satu tahun terlambat berkembang dibandingkan anak-anak yang normal. Sehingga keamanan teknik tersebut sempat diragukan. Tapi, penelitian yang lebih lama terhadap anak usia lima tahun, tidak ditemukan perbedaan tingkat perkembangan yang signifikan.
Baru-baru ini, tim yang dipimpin Lize Leunens dari Free University of Brussels (VUB) di Belgia membandingkan antara tingkat intelegensi dan kemampuan motorik terhadap 151 anak hasil ICSI usia delapan tahun dengan 153 anak hasil pembuahan normal.
Hasilnya, tidak ada perbedaan dalam kemampuan motorik dan anak-anak ICSI memiliki nilai tes intelegensi yang lebih tinggi daripada yang normal. "Kami sangat gembira karena dalam jangka panjang anak-anak tersebut tidak menderita kemunduran dalam perkembangannya," katanya.
Dalam penelitian tersebut, tidak ada perbedaan level pendidikan dari ibunya, yang diketahui mempengaruhi tingkat intelegensi seorang anak. Oleh karena itu Leunens berpendapat, bahwa alasan yang dapat menerangkan adalah motivasi yang lebih besar dari ibu yang mengandung bayi ICSI. "Ibu yang mengandung bayi ICSI ini mungkin mendedikasikan dirinya secara khusus sebagai orang tua," katanya.
Selain itu, penjelasan yang masuk akal juga disampaikan menanggapi kemunduran tingkat perkembangan pada bayi ICSI yang berusia sangat muda. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ibu bayi ICSI lebih suka membesarkan anaknya di rumah daripada mengirimkan ke playgroup atau berinteraksi dengan orang lain. Kondisi yang mungkin menyebabkan kemunduran dalam perkembangan sosial.
Tapi, penelitian ini bukanlah jawaban terakhir. Penelitian lain menunjukkan bahwa penolakan banyak orang tua untuk mengijinkan anaknya diteliti, mungkin agak menurunkan kepercayaan hasil penelitian Leunens. Faktanya, sepertiga orangtua anak-anak ICSI menolak berpartisipasi.
Tanpa mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan yang lain, Leunens menyatakan, bahwa hasil penelitian tidak berbeda dengan kondisi yang dipaparkan orang tua melalui wawancara telepon. Ia juga menekankan bahwa penelitiannnya tidak melihat masalah kesehatan yang lain.